KH Hasyim Asy’ari, Ulama yang Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia dan Mendirikan Nahdlatul Ulama

Nao Megumi
16 min readOct 19, 2021

--

KH Hasyim Asy’ari dan lambang Nahdlatul Ulama

KH Hasyim Asy’ari (Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari) yang nama belakangnya dieja “Asy’arie” merupakan salah satu Ulama yang memperjangkan Kemerdekaan Indonesia dan mendirikan dan merais-akbarkan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam yang tetap menghormati Pancasila meski mengandung Islamiyah. Lahir di masa Jajahan Belanda, tepatnya di Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur di tanggal 14 Februari 1871 Masehi atau 24 Dzulkaidah 1287 Hijriah. KH Hasyim Asy’ari memiliki nama Arab yaitu “مُحَمَّدْ هَاشِم اَشْعَرِيْ”. Meninggal di masa perjuangan Kemerdekaan Indonesia, tepatnya di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur di tanggal 21 Juli 1947 Masehi atau 7 Ramadhan 1366 Hijriah akibat Usia yang dianggap “Sepuh” atau sudah menginjak usia Tua. Beliau dijuliki sebagai Hadratussyaikh yang berarti “Maha Guru” dan telah menghafal Kutubus Syittah (Hadits 6 Riwayat), dan juga memiliki gelar Syaikhul Masyayikh yang berarti “Gurunya Para Guru”. Gelar beliau secara Islam adalah Hadratus Syekh.

Biografi Sebenarnya dari KH Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri. Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak, sedangkan yang kedua dari jalur ibu.

Ditilik dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim mewakili dua trah sekaligus, yaitu bangawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibu, masih keturunan langsung Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.

Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di desa Tambakrejo kecamatan Jombang.

Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan pendiri Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang.

Pada umur 5 tahun, Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.

Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim kemudian melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.

Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.

Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.

Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai Hsyim hingga akhir hayatnya.

Riwayat Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari

Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (islam). Untuk mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami islam di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau sambi kelana”

Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama mulai dari anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalu ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadith, Bahasa Arab dan bidang kajian islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar santri yang lebih senior.

Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren Langitan (Tuban). Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai Hasyim mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada KiaivKholil. Sementara, di bawah bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh, Adab, Tafsie dan Hadith.

Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hashim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi multi di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minankabawi, Syaikh Nawawi al-Bnatani dan Syaikh Mahfuz al-Tirmisi. Tiga nama yang disebut terakhir (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat itu yang juga memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan intelektual Kiai Hasyim di masa selanjutnya.

Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga mmperoleh kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’d Allah al-Maymani (mufti di Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadith di Makkah), al-Shihan Ahmad bin Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhanb Chasbullah (Tambakberas, Jombang), K. H. R Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).

Seperti disinggung di atas, Kiai Hasyim pernah mendapatkan bimbingan langsung dari Syaikh Khatib al-Minankabawi dan mengikuti halaqah-halaqah yang di gelar oleh gurunya tersebut. Beberapa sisi tertentu dari pandangan Kiai Hasyim, khususnya mengenai tarekat, diduga kuat juga dipengaruhi oleh pemikiran kritisnya gurunya itu, meskipun pada sisi yang lain Kiai Hasyim berbeda dengannya. Dialektika intelektual antara guru dan murid (Syaikh Khatib Kiai Hasyim) ini sangat menarik.

Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan tarekat. Bahkan , Kiai Hasyim juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah melalui salah melalui salah satu gurunya (Syaikh Mahfuz).

Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ari

Adapun di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesanttren Nusantara sampai sekarang antara lain:

  1. At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan
  2. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama
  3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah
  4. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama
  5. Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi
  6. Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah

Dalam beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa mendalamnya pengetahuannya di bidang tersebut. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama sam mujtahid yang telah banyak mengahasilkan berbagai warisan tak ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian seperti halnya NU.

Tebuireng di masa Pendudukan Militer Jepang atau Perang Dunia II (World War II)

Beberapa pasukan US Marine Corps sedang menampilkan Bendera Jepang

Pada masa penjajahan Jepang, Tebuireng telah dikenal sebagai pusat pendidikan Islam yang sudah berkembang pesat. Sejak didirkan pada tanggal 3 Agustus 1899 M, Tebuireng terus mengembangkan pola pendidikan yang kuat akan tantangan zaman. Pengalaman melawan tekanan penjajah Belanda telah juga menuntut pesantren Tebuireng untuk terus berinovasi.

Hasilnya setelah Jepang masuk menduduki Indonesia pada tanggal 1 Maret tahun 1942, dimana saat itu pemerintahan Jepang melarang masyarakat pesantren melakukan surat-menyurat selain menggunakan huruf latin, banyak alumni Tebuireng yang terbantu lantaran di Tebuireng sudah diajari pelajaran umum.

Menurut Akarhanaf dalam Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Bapak Umat Islam Indonesia (2018) Saat pemerintah Jepang melakukan pencatatan terhadap jumlah kiai dan ulama di Indonesia, ditemukan ada 20.000 kiai dan ulama yang pernah menjadi santri Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, mereka tersebar di seluruh Nusantara.

Pemerintahan Militer Jepang yang saat itu sedang terlibat Pacific War atau Great Eastern Asian War dengan Amerika Serikat dengan sekutunya kemudian memenjarakan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari lantaran menolak tunduk pada kemauan pemerintah Jepang untuk melakukan seikerei, yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada dewa matahari.

Selama 4 bulan penguasa militer Jepang menahan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Di dalam penjara beliau menagalami berbagai macam perlakuan kasar bahkan penyiksaan sehingga tulang-tulang jari tangan kanannya patah tidak dapat digerakkan.

Penahanan Hadaratussyaikh Hasyim Asy’ari menyebabkan kegiatan belajar mengajar di pesantren Tebuireng berhenti total. Penahanan itu pula menyebabkan keluarga Hadratussyaikh berpindah. Istri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh harus mengungsi ke Pesantren Denanyar yang terletak di sebelah barat Kota Jombang.

Putera Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim bersama KH Wahab Hasbullah berjuang keras untuk membebaskan Kiai Hasyim dari tahanan, salah satu cara yang ditempuh oleh keduanya adalah jalur diplomasi.

Meraka berdua dibantu oleh seorang perwira Jepang bernama Abdul Hamid Ono yang bertugas di Jakarta sejak Awal Invansi Militer Jepang ke Asia Tenggara termasuk Nusantara (Awal Perang Dunia II setelah Jepang berani mengebom Pearl Harbor di Hawaii). Dia yang awalnya bertugas mengawasi Kiai Hasyim, kemudian ikut membantu membuka jalur diplomasi dan komunikasi antara pihak Tebuireng dan militer Jepang.

Berkat upaya diplomasi Kiai Wahid dan Kiai Wahab Hasbullah dengan para pembesar Jepang terutama Saikoo Sikikan di Jakarta serta banyaknya protes dari para kiai dan santri di seluruh Indonesia, Jepang akhirnya membebaskan Hadratussyaikh tanggal 18 Agustus 1942.

Sadar akan wibawa dan pengaruh besar Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Jepang kemudian menjadikan beliau sebagai pimpinan Shumubu, cikal bakal Kementerian Agama saat ini yang dibentuk Jepang pada Mei 1942. Tetapi Hadratussyaikh menyerahkan tugas itu kepada puteranya, Kiai Wahid Hasyim.

Selanjutnya, Kiai Wahid Hasyim dalam tugasnya berupaya mendirikan Kantor Jawatan Agama yang berlokasi di daerah-daerah (Shumuka). Sedangkan Hadratussyaikh berada di Tebuireng, membina dan mendidik para santri.

Pengaruh kuat KH Hasyim Asy’ari terhadap Pemerintahan Militer Jepang

KH Hasyim Asy’ari sedang berbincang dengan Perwakilan Jepang

Sejak tahun 1900, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sudah meneruh perhatian besar dalam pengajaran dan pendidikan umat di Indonesia. Dengan ikhlas, Kiai Hasyim mendidik dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan terutama bidang Agama kepada siapa pun yang membutuhkan. Menurut Akarhanaf (hlm 30) Pemerintah Jepang, saat melakukan pencatatan terhadap jumlah kiai-kiai dan ulama yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim Asy’ari, diketahui semuanya berjumlah 20.000 orang kiai yang tersebar di berbagai daerah.

Kiai Hasyim Asy’ari kemudian dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia, perjuangan beliau sebagai pencetak budi dan pembangun jiwa bangsa tidak terbatas pada kalangan pesantren saja, tidak pula hanya khusus kalangan internal organisasi Nahdlatul Ulama saja tetapi meluas ke berbagai unsur kebangsaan. Kiai Hasyim seorang ulama yang disegani dan dihormati oleh semua kalangan umat Islam. Beliau bukan hanya sebagai Rois Akbar NU, tetapi juga Rois Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), juga ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Di dalam organisasi MIAI dan Masyumi terdapat berbagai kelompok organisasi umat Islam Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, PSII, Persis, Perti, Al-Irsyad, dan lain-lain. Kedudukan beliau sebagai ketua Majelis Syuro menunjukkan betapa besar pengaruh beliau bagi umat Islam di Indonesia.

Begitu pula pengaruh beliau dirasakan ketika Jepang menjajah Indonesia. Pada mulanya Kiai Hasyim Asy’ari mendapat perlakuan represif. Militer Jepang menahan Kiai Hasyim karena menolak melakukan seikerei, yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito titisan Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).

Tentara Jepang juga mewajibkan Seikerei kepada seluruh warga di wilayah jajahannya, setiap kali bertemu atau lewat di depan tentara Jepang. Kiai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab keyakinan hanya Allah saja yang wajib dan patut disembah, bukan manusia. Akibatnya, beliau ditangkap dan dipenjarakan secara berpindah-pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian penjara Mojokerto, terakhir ke penjara Bubutan, Surabaya.

Selama dalam masa penahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga tulang-tulang jari tangan kanannya patah tidak dapat digerakkan. Tentara Jepang akhirnya membebaskan Kiai Hasyim setelah 4 bulan ditahan. Hal itu lantaran banyaknya protes dari para kiai dan santri yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya, termasuk upaya yang dilakukan Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Hasbullah melalui seorang perwira muslim Jepang, yang melakukan diplomasi dengan Saiko Sikikan di Jakarta.

Melihat pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari yang begitu kuat di masyarakat, Jepang sadar kemudian membebaskan beliau dari tahanan bahkan mengangkat beliau menjadi Shumubu, kementerian urusan agama dalam pemerintahan Jepang, yang diwakilkan putera beliau, Kiai Wahid Hasyim.

Saat menyerahnya Jepang kepada Sekutu dan mengerahkan Para Santri Tebuireng untuk membantu di Pertempuran Surabaya melawan Inggris dan Agresi Militer Belanda di Jawa Timur

Tentara India Britania menembaki penembak runduk Indonesia di balik tank Indonesia dalam pertempuran di Surabaya, November 1945.

Setelah menyerahnya Jepang oleh Sekutu akibat Hiroshima and Nagasaki Nuclear Bombing oleh US Army Airforce dari Saipan, dan Soekarno memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia di 17 Agustus 1945, perjuangan KH Hasyim Asy’ari dan para Santri Tebuireng belum berhenti disana. Mereka mulai membersihkan Pesantren Tebuireng bekas Pendudukan Militer Jepang Selama ini yang telah menindas mereka selama Pendudukan, dan mereka memanfaatkan persenjataan milik Jepang untuk digunakan sebagai pertahanan. Saat itulah, Hizbullah mulai berperan dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Hizbullah menjadi cikal-bakal dari Perlawanan terhadap Operasi Militer Inggris, baik Pertempuran Surabaya maupun Saat Agresi Militer Belanda di sekitar Jawa Timur.

Kisah Wafat dan Perjuangan KH Hasyim Asy’ari di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan bukan hanya bulan istimewa untuk umat Islam di seluruh dunia, tetapi mempunyai makna penting bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 9 Ramadhan 1364 yang bertepatan dengan 17 Agustus 1945.

Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871–1947) sedari awal merupakan salah seorang tokoh ulama pesantren yang gigih menentang kolonialisme. Ia selalu dijadikan rujukan dan nasihat dalam pengambilan kebijakan oleh tokoh-tokoh nasionalis seperti Soekarno, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lain-lain. Termasuk konon dalam menentukan tanggal kemerdekaan 17 Agustus 1945 pada bulan Ramadhan. Namun, informasi tersebut memerlukan verifikasi lebih lanjut.

Menempa diri dalam pencarian ilmu di Makkah tidak lantas membuat KH Hasyim Asy’ari alpa terhadap keadaan dan kondisi bangsanya di Tanah Air. Ia tidak menutup mata terhadap bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah. Kegelisahaannya itu dituangkan dalam sebuah pertemuan di Multazam bersama para sahabat seangkatannya dari Afrika, Asia, dan juga negara-negara Arab sebelum Kiai Hasyim kembali ke Indonesia.

Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) mencatat, pertemuan tersebut terjadi pada suatu di bulan Ramadhan, di Masjidil Haram, Makkah. Singkat cerita, dari pertemuan tersebut lahir kesepakatan di antara mereka untuk mengangkat sumpah di hadapan “Multazam”, dekat pintu ka’bah untuk menyikapi kondisi di negara masing-masing yang dalam keadaan terjajah.

Isi kesepakatan tersebut antara lain ialah sebuah janji yang harus ditepati apabila mereka sudah sampai dan berada di negara masing-masing. Sedangkan janji tersebut berupa tekad untuk berjuang di jalan Allah SWT demi tegaknya agama Islam, berusaha mempersatukan umat Islam dalam kegiatan penyebaran ilmu pengetahuan serta pendalaman ilmu agama Islam.

Bagi mereka, tekad tersebut harus dicetuskan dan dibawa bersama dengan mengangkat sumpah. Karena pada saat itu, kondisi dan situasi sosial politik di negara-negara Timur hampir bernasib sama, yakni berada di bawah kekuasaan penjajahan bangsa Barat.

Sebagai salah seorang guru para ulama pesantren, KH Hasyim Asy’ari mempengaruh luas sehingga dapat memberikan penyadaran kepada masyarakat soal perjuangan dan kecintaan terhadap tanah air. Baginya, prinsip tersebut penting untuk menumbuhkan spirit perjuangan rakyat untuk melawan dan mengusir penjajah dari tanah air Indonesia.

Namun demikian, tidak lantas membuat KH Hasyim Asy’ari meninggalkan tradisi kelimuan pesantren. Di tangannya, pesantren tidak hanya menjadi tempat menempa ilmu-ilmu agama, tetapi juga menjadi basis perjuangan rakyat Indonesia dan menjadi wadah pergerakan nasional. Beliau tetap mengajarkan berbagai macam kitab, menulis kitab, dan mengajar ilmu-ilmu hadits yang menjadi kepakarannya.

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 202) yang didapatkannya dari para ulama alumnus Tebuireng, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari — seperti kebanyakan ulama di Indonesia — termasuk golongan fuqaha. Artinya orang yang sangat dalam penguasaannya tentang ilmu-ilmu keislaman.

Di samping itu, masih menurut catatan Kiai Saifuddin Zuhri, ia juga terkenal sebagai ulama ahli hadits. Sudah menjadi wiridan (kebiasaaan rutin) tiap bulan Ramadhan, Hadhratussyekh membaca kitab hadits al-Bukhori, kitab kuning berisi himpunan hadits Nabi Muhammad sebanyak 7.275 hadits.

Banyak ulama yang datang dari berbagai pelosok tanah air untuk mondok di Tebuireng selama bulan Ramadhan untuk menyimak bacaan hadits KH Hasyim Asy’ari. Kepakarannya terlihat bukan hanya ketika ia membaca kitab hadits dengan cermat dan cepat, tetapi juga ketika Hadhratussyekh mengontekstualisasikan dengan dinamika kehidupan dan perubahan zaman. Termasuk ketika menulis Qanun Asasi Nahdlatul Ulama yang banyak sekali mengutip hadits-hadits relevan dan kontekstual.

Ada sebuah kisah ketika KH Hasyim Asy’ari difitnah oleh Jepang (Nippon). Jepang melancarkan tuduhan dan fitnah pemberontakan agar dapat memenjarakan Kiai Hasyim Asy’ari. Jepang melancarkan terornya itu dengan datang langsung ke Pesantren Tebuireng. Tidak mau para santrinya menjadi korban kekejaman Nippon, Kiai Hasyim Asy’ari merelakan diri untuk dibawa serdadu Jepang dan dipenjara.

Di penjara, KH Hasyim Asy’ari mengalami siksa pedih dari tentara Jepang untuk alasan yang tidak pernah diperbuatnya. Meski mengalami beragam kekerasan di dalam penjara, kakek KH Abdurrahman Wahid tidak menyurutkan sedikit pun semangat menegakkan agama Allah dengan tetap melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mengulang hafalan hadits-hadits dalam kitab Al-Bukhori dan menolak dengan tegas agar hormat menghadap matahari sebagai sikap tunduk dan patuh kepada Kaisar Jepang, Teno Heika.

Kisah keteguhan hati Kiai Hasyim Asy’ari dengan tetap menghafal Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhari sebagai wiridan selama dipenjara oleh Jepang diriwayatkan oleh Komandan Hizbullah wilayah Jawa Tengah, KH Saifuddin Zuhri saat berbincang dengan KH Wahid Hasyim (Berangkat dari Pesantren, 2013) dalam sebuah kesempatan sesaat setelah Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan oleh Jepang melalui diplomasi KH Abdul Wahab Chasbullah dan Gus Wahid sendiri.

“Bagaimana kabar Hadhratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari setelah keluar dari tahanan Nippon?” tanya Kiai Saifuddin Zuhri mengawali obrolan dengan Kiai Wahid Hasyim. Kiai Wahid Hasyim menjelaskan bahwa kesehatan ayahnya justru semakin membaik. Bahkan salah satu perumus dasar negara Indonesia itu mengabarkan bahwa ayahnya selama di penjara mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori berkali-kali.

“Alhamdulillah, kesehatannya justru semakin membaik. Selama dalam penjara, Hadhratussyekh bisa mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori berkali-kali,” terang Kiai Wahid kepada Saifuddin Zuhri.

Alakullihal, dua tahun berlalu sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda belum surut. Bahkan KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku dalam Orang-orang dari Pesantren (2001) mencatat, pada 21 Juli 1947 Belanda melakukan serangan secara tiba-tiba di wilayah Republik Indonesia.

Dalam serangan kejuatan tersebut, tentu saja banyak korban berjatuhan, terutama para pejuang santri, baik dari Hizbullah dan Sabilillah. Hampir setiap hari umat Islam melakukan gerakan batin di samping kesiapsiagaan militer. Tiap-tiap sembahyang dilakukan qunut nazilah, sebuah doa khusus untuk memohon kemenangan dalam perjuangan.

Sebab serangan pada 21 Juli 1947 itu, daerah RI semakin menciut. Istilah KH Saifuddin Zuhri tinggal selebar godong kelor (daun kelor). Daerah tersebut hanya meliputi garis Mojokerto di sebelah Timur dan Gombong (Kebumen) di sebelah barat dengan Yogyakarta sebagai pusatnya saat itu.

Kota Malang jatuh dalam agresi Belanda 21 Juli 1947 tersebut. Jatuhnya kota perjuangan pusat markas tertinggi Hizbullah-Sabilillah ini cukup mengejutkan Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ketika berita musibah itu disampaikan oleh Kiai Gufron (Pemimpin Sabilillah Surabaya), Kiai Hasyim Asy’ari sedang mengajar ngaji.

Begitu berita buruk itu disampaikan, Kiai Hasyim Asy’ari seketika memegangi kepalanya sambil berdzikir menyebut nama Allah SWT: “Masyaallah, Masyaallah!” lalu pingsan tak sadarkan diri. Hadhratussyekh mengalami pendarahan otak setelah diperiksa. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya telah parah.

Utusan Panglima Besar Soedirman dan Bung Tomo yang khusus datang untuk menyampaikan berita jatuhnya Malang tidak sempat ditemui oleh Hadhratussyekh. Malam itu tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan 25 Juli 1947, Hadharatussyekh KH Hasyim Asy’ari menghembuskan nafas terakhirnya dengan membawa kepedihan mendalam atas apa yang menimpa bangsa Indonesia.

Kalangan pesantren berduka, rakyat Indonesia menangis ditinggalkan ulama kharismatik dan pejuang kemerdekaan yang gigih. Rakyat, santri, dan para pejuang seakan tidak percaya ditinggalkan seorang ulama yang selama ini menjadi panutan dan sandaran dalam perjuangan. Apalagi dalam kondisi saat itu, rakyat masih membutuhkan perannya sebagai penggerak dalam upaya-upaya memerdekakan bangsa Indonesia.

Penutup

Demikian cerita hidup dan biografi dari KH Hasyim Asy’ari. Bagaimana reaksi kalian dengan cerita dari awal hingga akhir ? Bahagia ? Terinspirasi ? Sedih ? atau lainnya ? Yang pasti kalian dapat merasakan bagaimana kehidupan seorang Ulama yang benar-benar ingin Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia bersama para Santri didikannya. Semoga artikel ini dapat menginspirasi kalian untuk tetap semangat dan tetap aktif meski kalian memiliki kekurangan atau kelebihan, karena sesungguhnya Tuhan tidak akan mengabulkan permintaan kita jika kita tidak berusaha untuk meraihnya. Sekian, sampai jumpa di Artikel selanjutnya, Assalamualaikum and See you !

Sebelumnya, saya meminta maaf atas plagiarisme yang terdeteksi di artikel ini, sekarang sudah saya revisi dan siap dipublikasikan 100%.

Sumber Artikel

  1. https://www.nu.or.id/post/read/119614/kh-hasyim-asy-ari--kisah-wafat-dan-perjuangannya-di-bulan-ramadhan
  2. https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Surabaya
  3. https://www.tebuireng.co/saat-jepang-sadar-pengaruh-kuat-kh-hasyim-asyari/
  4. https://tebuireng.online/biografi-lengkap-kh-m-hasyim-asyari/
  5. https://id.wikipedia.org/wiki/Hasjim_Asy%27ari
  6. Catatan Pribadi Penulis di OneNote dan Buku pribadi

--

--

Nao Megumi
Nao Megumi

Written by Nao Megumi

My name is Nao Megumi, I'm Multi-patform Developer, Windows Insider, and others. This blog will provide Information about History, People, Mental Health, etc.

No responses yet